Tujuan utamanya untuk keperluan memperluas kesempatan
belajar, meningkatkan kualitas proses belajar, menumbuhkan kesempatan yang sama
antarpeserta didik, dan berbagai kemungkinan lainnya. Melalui pola pembelajaran
hibrida yang memanfaatkan perangkat komputer atau pun smartphone yang
terkoneksi pada jaringan internet memberikan peluang seluas-luasnya bagi guru
dan siswa untuk melakukan aktivitas belajar sambil melakukan aktivitas lain,
termasuk rekreatif secara bersama-sama. Atau inilah yang disebut pembelajaran
multitasking.

Kelima, karakteristik guru abad 21 di tengah pesatnya
perkembangan era teknologi digital, bagaimanapun harus mampu melakukan transformasi
kultural. Karena itu transformasi mengandaikan terjadi proses pergantian dan
perubahan dari sesuai yang dianggap lama menjadi sesuatu yang baru. Atau paling
tidak mengalami penyesuaian terhadap kehadiran yang baru. Jika dipandang dari
perspektif kritis, konsep transformasi seperti itu segera akan mengundang
kecurigaan bahwa konsep transformasi mau tidak mau akan berbau positivistik.
Ketika asumsi linearistik yang menjadi karakter utama positivistik, pastilah
mengandaikan bahwa yang lama akan dipandang sebagai sesuatu yang tertinggal,
atau paling tidak sedikit muatan kemajuannya (Wahyono, 2011).
Selanjutnya Wahyono menjelaskan bahwa ketika transformasi
digunakan untuk menjelaskan konsep transformasi budaya, maka mengandaikan
terjadinya proses alih ubah nilai, sikap, dan praksis dalam aktivitas
kebudayaan. Setidaknya terdapat proses penyesuaian dari nilai, sikap, dan
praksis budaya lama menuju budaya baru. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi
yang menggunakan konstruksi budaya berbasis pada nilai budaya Barat, maka mau
tidak mau nilai budaya lama masyarakat pengadopsinya harus melakukan
penyesuaian-penyesuaian. Salah satu nilai yang imperatif dituntut oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah apresiasi tinggi terhadap logika kausalitas,
akurasi, presisi, detail, dan terukur. Di samping itu tentu saja penghargaan
terhadap prinsip kejujuran, disiplin, dan kerja keras yang merupakan etos
masyarakat Barat dan negara maju lainnya di kawasan Asia. Oleh karena itu tesis
yang ditawarkan adalah, jika masyarakat, taruhlah yang masih mengikuti prinsip
tradisionalisme, ingin menjadi masyarakat modern berbasis pada ilmu pengetahuan
dan teknologi, maka perlu melakukan transformasi kultural. Transformasi di sini
mengandaikan terjadinya proses alih ubah nilai, sikap, dan praksis lama menuju
yang baru. Transformasi kultural, bila diterapkan dalam kaitannya dengan
perkembangan model pembelajaran hibrida, maka konsep transformasi kultural
tentu mengandaikan proses alih ubah dari nilai tradisional ke nilai
pembelajaran modern. Secara umum sudah berkembang persepsi bahwa model
pembelajaran yang lebih lazim digunakan adalah berat pada karakter berorientasi
pada guru (teacher center) daripada
berorientasi pada peserta didik (student
center). Oleh karena pembelajaran online masuk kategori belajar berbasis
media baru (new media) maka
mengedepankan egalitarianism, kesetaraan, emansipatif, dan partisipatif dalam
proses komunikasinya, maka student-center lebih sesuai dengan prinsip
pembelajaran online. Dengan demikian diperlukan adanya transformasi kultural
dari model pembelajaran yang berprinsip searah, top-down, dan memposisikan
peserta didik sebagai pihak pasif, ke arah model pembelajaran konstruktivistik
yang berorientasi pada peserta didik. Pandangan bahwa guru adalah sumber pengetahuan
dan rujukan utama pengetahuan, perlu diubah ke arah pandangan bahwa sumber
pengetahuan bersifat menyebar. Semua pada prinsipnya dapat menjadi sumber
rujukan, tidak terkecuali peserta didik. Atau setidaknya murid adalah pihak
yang aktif mengkonstruksi dan memaknai pesan. Begitulah, guru dalam
pembelajaran abad 21 dituntut mengenali dan menguasai pembelajaran berbasis
TIK.
Jenjang kompetensi TIK yang sebaiknya dimiliki oleh seorang
pengajar atau guru untuk menerapkan model e-learning meliputi lima tahapan.
Upaya dini yang harus dilakukan oleh pegelola sekolah adalah menyiapkan SDM
guru yang melek TIK (ICT literate). Ciri-ciri utama seorang guru yang melek TIK
ialah guru yang menggunakan TIK secara tepat, berdasarkan kebutuhan belajar,
kompetensi, karakteristik isi atau mata ajar, ketersediaan sarana. Selanjutnya
ia mampu mensinergikan kompetensi ini dalam penyajian di kelas konvensional,
yaitu bersama dengan peserta didik menggunakan TIK untuk proses belajar dan
mengajar. Adapun guru yang mahir meggunakan TIK dapat menjadi guru TIK, yaitu
menularkan perilaku positif dan mengintegrasikannya dalam materi ajar TIK serta
menumbuhkan kesadaran dalam berinternet sehat, misalnya ia dapat menjelaskan
bagaimana mengakses jejaring sosial sekaligus memanfaatkannya untuk diskusi
suatu mata ajar tertentu (Salma, 2016: 4). Oleh karena itu, setelah guru
memiliki karakteristik yang sesuai dengan tuntutan abad 21 yang serba digital,
maka seorang guru juga perlu mempunyai kompetensi di bidang perancangan atau
desainer pembelajaran.
Disainer pembelajaran menjadi sosok yang harus lebih banyak
berperan dalam menyelenggarakan e-learning. Disainer pembelajaran adalah ahli
yang terbuka dan dinamis, mampu memecahkan masalah di tingkat trouble shooting,
di depan monitor, atau hingga menjadi problem solver dalam tatanan menciptakan
proses belajar maya yang “hidup”, interaktif, dan manusiawi (Salma, 2016: 5).
0 comments: