Pada fase masyarakat industrial
fokus utama adalah bagaimana masyarakat dengan segenap penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi berusaha mengolah bahan baku yang disediakan oleh
alam menjadi komoditas yang berpotensi meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi
sekarang ini, ketika memasuki era masyarakat informasional, bukan lagi perkara
bagaimana berproduksi untuk akumulasi kapital, akan tetapi bagaimana penguasaan
dan kemampuan mengolah informasi sebagai sumber daya utama untuk meningkatkan
kualitas hidup.
Sekarang ini banyak yang sepakat
bahwa masyarakat Indonesia mengalami transisi dari masyarakat offline menuju
masyarakat online. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat informasional dan
komunikasional juga telah hadir yang siapa pun tidak bisa menolaknya. Dengan
kata lain, kehadiran masyarakat informasional ini sudah merupakan imperatif,
atau sebuah keniscayaan. Hampir seluruh aspek kehidupan dalam bermasyarakat
mulai dari aspek ekonomi, politik, kebudayan, dan sosial-budaya terambah oleh
moda-moda informasional dan komunikasional. Sekarang ini informasi tidak lagi
mewujud dalam bentuk pengetahuan yang terdokumentasi secara padat seperti
barang-barang cetakan, tetapi telah berubah menjadi serba digital. Proses
digitalisasi terjadi dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang tentu saja
berimplikasi terhadap perubahan nilai, cara pandang, dan pola-pola perilaku
masyarakat.
Dari data Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet di Indonesia mencapai 132,5
juta orang pada 2016, tumbuh pesat dari 2015 yang baru 88,1 juta orang. Hal itu
tidak lepas dari kerja keras para operator telekomunikasi yang memperluas
jangkauan layanan mereka. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan
regulasi yang mendukung (Kompas, 20 Maret 2017, hal. 12). Akan tetapi seiring
dengan gegap-gempita tumbuhnya masyarakat jaringan ini, juga menyodorkan
persoalan sosio-kultural seperti kesenjangan digital. Dalam insitusi keluarga
pun juga menyodorkan persoalan kesenjangan antara generasi para orangtua yang
masih disebut sebagai digital immigrant dan generasi anak-cucunya yang disebut
sebagai generasi digital native.
Di Indonesia, target menjadi
masyarakat informasi diarahkan pada ukuran terhubungnya seluruh desa dalam
jaringan teknologi komunikasi dan informasi pada tahun 2015. Determinasi
teknologi ini harus diwujudkan dalam determinasi sosial, dimana masyarakat
harus berdaya terhadap informasi. Konsep masyarakat informasi tidak lagi
mengarah seperti era media yang telah muncul pada era industrial atau sering
disebut the first media age dimana informasi diproduksi terpusat (satu untuk
banyak khalayak), arah komunikasi satu arah; Negara mengontrol terhadap semua
informasi yang beredar; reproduksi stratifikasi sosial dan ketidakadilan
melalui media; dan khalayak informasi yang terfragmentasi. Akan tetapi
masyarakat informasi yang berada pada the second media age yang memiliki
karakter informasi desentralistik; komunikasi dua arah; kontrol Negara yang
distributif; demokratisasi informasi; kesadaran individual yang mengutama; dan
adanya orientasi individual.
Luapan konten informasi dan
teknologi yang memungkinkan untuk user generated sebagaimana karakter media
baru seperti munculnya blogs, website, citizen journalism, atau pun digitalisasi
yang memungkinkan semakin banyaknya jumlah siaran televisi, radio, webcast, dan
juga semakin mudahnya menerima terpaan informasi dimana saja, menjadikan
masyarakat memiliki kesempatan yang sangat besar menjadi konsumen informasi.
Era informasi seharusnya menjadikan masyarakat menjadi prosumen, produsen
sekaligus konsumen informasi.
Ciri utama masyarakat informasi
adalah bahwa semua aktivitas masyarakatnya berbasis pada pengetahuan. Oleh
karena itu, dalam dunia di mana informasi dan pengetahuan terus beredar,
pemerintah bercita-cita untuk membangun negara sebagai masyarakat yang
berpengetahuan. Akan tetapi justru di sinilah kemudian menimbulkan masalah,
sebab perkembangan masyarakat di Indonesia tidak linier dan homogen. Ada
sebagaian masyarakat yang sudah berada dalam tahap siap memasuki masyarakat
informasi karena telah mempunyai basis pengetahuan kuat dan menggunakannya
sebagai dasar utama bagi aktivitasnya. Sementara banyak juga warga masyarakat
yang berakar kuat pada kultur agraris, tradisional, penuh mistik, dan pandangan
dunianya kurang mampu cepat beradaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Akibatnya ketika pemerintah membangun infrastruktur ICT secara
signifikan, sebagian besar warga masyarakat kurang mampu memanfaatkan ICT untuk
kepentingan yang produktif, karena rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan
pentingnya pengetahuan.
Sumber :
Modul Daring 1 PPG Bimbingan dan Konseling Kemenristek Dikti Republik
Indonesia 2019
0 comments: